FENOMENA PONARI ; POTRET DERITA UMAT ?
O l e h
Djabir Sasole
(Pemerhati masalah Hukum dan Sosial)
Beberapa minggu terakhir ini, nama Ponari dengan ‘kesaktiannya’ menjadi buah bibir hampir di semua kalangan, menghiasi media massa cetak maupun elektronik, bahkan menjadi headline. Dengan kesaktainnya, si bocah kelas 3 SD di salah satu kecamatan di Jombang ini bisa mengobati ribuan pasien dari berbagai penjuru dengan berbagai macam penyakit dan tingkatan stadium. Aksinya kemudian menjadi polemik pro dan kontra dari berbagai disiplin ilmu dan profesi. Pihak Kepolisian dan TNI harus dikerahkan untuk pengamanan lokasi kediaman Ponari. Komisi Perlindungan Anak pun turun tangan karena ada indikasi tindakan eksploitasi anak, bahkan sampai memancing MUI untuk mengeluarkan fatwa karena kekhawatiran adanya unsur syirik. Psikolog berpendapat bahwa sugesti memegang peranan penting dalam hal ini. Sedangkan paramedis menyebut fenomena ini tak masuk nalar medis. Ini memang isu kecil, tetapi sungguh menyerap energi dan perhatian yang luar biasa.
Lalu, benarkah sebuah batu yang dicelupkan di dalam air amineral dapat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit ? ini memang masih membutuhkan penelitian, baik secara medis maupun mungkin oleh ahli geologi atau ahli kimia. Tetapi yang sudah pasti, masyarakat kita, khususnya mereka yang menjadi pasien Ponari sudah meyakininya dengan haqqul yakin bahwa ‘batu petir’ milik Ponari dapat mengakhiri penderitaan mereka. Buktinya, sekalipun untuk mendapatkan celupan batu Ponari, pasien dan keluarga harus antri berjubel berhari-hari bahkan sudah menelan 4 korban jiwa yang terinjak saat antrian, semua ini tidak mengurungkan niat pasien dan keluarga. Begitu yakinnya, air comberan dan benda-benda di sekitar kediaman Ponari pun ikut dianggap sakti oleh mereka. Inilah yang fenomenal dari Ponari ‘putera petir’.
Pertanyaan kita sekarang, ada apa dibalik sikap masyarakat kita yang cendrung lebih percaya pada hal-hal yang lebih bersifat mistis ketimbang medis ? Untuk menjawab pertanyan ini, setidaknya kita perlu melihat lebih dekat kondisi masyarakat kita secara utuh, baik pikiran, budaya, ekonomi maupun kondisi sosial lainnya.
Kultur Budaya Kita
CW Watson, seorang ahli sastra dan budaya Indonesia dari Belanda, dalam salah satu bukunya tentang "witchcraft and sorcery" di Asia Tenggara (1993) banyak menyinggung tentang motif dukun dan ilmu hitam dalam sastra Indonesia.
Menurutnya, sebuah ciri penting dari pengobatan di Indonesia adalah terdapatnya pluralisme sistem pengobatan di mana berbagai cara pengobatan yang berbeda-beda hadir berdampingan. Yang paling dominan di antaranya adalah pengobatan asli Indonesia (yaitu sistem pengobatan etnis tiap daerah yang pada umumnya termasuk humoral medicine dan memiliki elemen-elemen magis) dan pengobatan biomedis/Barat. Pluralisme ini membawa berbagai macam persoalan, terutama karena sistem kesehatan yang resmi (puskesmas, rumah sakit, pendidikan kedokteran di universitas, dan sebagainya) hampir seutuhnya berpegang pada sistem biomedis, sedangkan sistem pengobatan yang paling dikenal dalam masyarakat tetaplah pengobatan asli Indonesia (tradisional).
Dalam sistem pengobatan asli Indonesia, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit yang "biasa" (alami) dan "luar biasa" (disebabkan oleh kekuatan gaib), sedangkan ilmu kedokteran biomedis tidak mengenal penyakit yang "luar biasa" seperti itu. Dukun cukup sering terdapat sebagai tokoh yang biasanya dihubungkan dengan dunia kampung/desa, dengan orang tua atau orang kuno dan dengan pandangan hidup tradisional. Tetapi, kalau kita mengamati cerita mengenainya-terutama cerita yang berhubungan dengan hal-hal magis-dengan teliti, kita sering tidak menemukan jawaban yang tegas apakah kekuatan atau kejadian gaib itu dipandang sebagai sesuatu yang nyata atau tidak
Munculnya novel-novel yang banyak berceraita tetang dukun, Misanya : novel Ni Rawit, Ceti Penjual Orang (karya AA Pandji Tisna 1935). Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Para Priyayi (Umar Kayam, 1992), Harimau! Harimau! (karya Mochtar Lubis 1975) merupakan salah satu bukti bahwa sejak dulu masyarakat kita lebih cendrung percaya pada hal-hal yang bersifat mistis, termasuk dalam hal pengobatan.
Bukti lain belakangan ini adalah maraknya tayangan-tayangan TV yang menawarkan penyelesaian masalah secara instant dengan berbagai model. Dengan hanya mengetik beberapa kata, anda bisa mendapatkan jawaban yang dibutuhkan, dari jodoh, karir, keuangan, cinta dll. Dan ironisnya, masyarakat kita sangat terhipnotis dengan tawaran seperti ini.
Mayoritas orang-orang pergi ke dukun untuk mencari solusi. Dari sekedar sakit, rejeki seret, kehilangan, karir, usaha, jodoh sampai masalah ribut rumah tangga. Dan… jangan lupa, ada juga yang memburu pelet.
Moral dan Ekonomi Umat
Beberapa pihak - terutama dari kalangan ulama dan tokoh agama lainnya - melihat fenomena Ponari ini sebagai kemunduran umat dan rendahnya moral. Semudah itu masyarakat kita yang tercatat sebagai umat beragama, percaya dan hanyut dalam iring-iringan barisan hingga sejauh lima kilometer hanya untuk menunggu seorang bocah kecil yang digendong oleh orang dewasa, mencelupkan sebuah batu kecil dalam genggaman tangannya ke dalam wadah yang berisi air yang dibawa oleh para ‘pasien’ ini.
Ada lagi kalangan yang menilai bahwa fenomena Ponari menunjukkan matinya logika. Cibiran dan cemoohan kemudian ditujukan kepada orang-orang yang datang ke Ponari. Masyarakat dinilai sudah tidak percaya kepada pengobatan modern yang lebih rasional. Sebagian orang bahkan memponis syirik dalam praktek Ponari.
Tetapi cukupkah dengan cemoohan, cercaan, hujatan dan cibiran terhadap mereka yang mencari kesembuhan ini bisa menyelesaikan masalah yang meraka hadapi ? sebab sangat boleh jadi, fenomena yang kita hadapi ini bukan sekadar ilmu logika an sich. Harus juga diakui bahwa masyarakat yang berduyun-duyun ke praktik Ponari melihat hal ini dari sisi kegunaan semata atau dari sisi aksiologinya saja. Mereka tidak butuh penjelasan ilmiah, yang mereka butuhkan hanya agar bisa sembuh dengan biaya yang relatif sangat ringan - walaupun kita juga tidak boleh menutup mata dengan kedangkalan moral sebagian masyarakat kita. Dan inilah yang menjadi PR kaum cerdik cendikia untuk mentransformasi nilai-nilai akidah secara rasional.
Ponari dan kesaktiannya, hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang muncul ke permukaan. Masih banyak lagi Ponari Ponari lain yang merebak di hampir seluruh penjuru Nusantara, yang kondisi dan pandangan masyarakatnya pun tidak jauh berbeda dengan yang kita lihat di sekitar Ponari..
Fenomena Ponari juga terkait erat dengan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin. Dalam masalah pelayanan kesehatan, tak sedikit masyarakat kita yang tak kuasa mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas akibat berbagai hal. Meskipun pemerintah telah memberi berbagai keringanan, bukan berarti masyarakat dengan mudah untuk mendapatkan keringanan itu. Rumah Sakit dan balai-balai pengobatan terlalu mewah bagi kebanyakan masyarakat kita. Kita juga pernah menyaksikan warga miskin terlantar dan tidak mendapatkan pelayanan dari rumah sakit.
Demikian juga, meskipun telah ribuan pusat kesehatan masyarakat dibangun, bukan berarti masyarakat mendapat jaminan pelayanan kesehatan yang memadai. Kita sering mendengar keluhan dari pasien Askeskin tentang masih adanya perbedaan perhatian dan pelayanan bagi pemegang kartu Askeskin dan mereka yang menggunakan pembayaran langsung (umum), ada obat tertentu yang tidak disediakan RS kepada peserta Askeskin, dll.
Sekalipun hal ini dibantah oleh Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, bahwa fenomena Ponari tidak ada hubungannya dengan pelayanan kesehatan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan terhadap warga miskin terkesan masih dianaktirikan.
Sulitnya birokrasi RS dan PT Askes dan sering berubahnya kebijakan juga merupakan salah satu bukti membuat masyarakat muskin kesulitan untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Padahal Pelayanan kesehatan adalah hak azasi setiap warga Negara. Pemerintah telah meratifikasi kovenan hak-hak Ekosob dan Pemerintah wajib untuk memenuhi hak warga Negara atas kesehatan.. Ini juga semestinya menjadi bahan introspeksi dan menjadi PR buat Pemerintah (Departemen Kesehatan).
Bagaimana sikap kita ?
Menghadap berbagai praktek atau kegiatan penyembuhan, baik secara medis maupun alternative, seperti juga pengobatan Ponari, sikap yang paling bijaksana adalah kehati-hatian. Kesembuhan sumbernya tetap dari Allah SWT. Allah yang menciptakan penyakit, Allah juga yang menyediakan obatnya (kesembuhannya). Kedokteran atau pengobatan alternatif hanyalah perantara kesembuhan saja. Mungkin melalui tangan dokter, thabib, shinse, paranormal (dukun), atau Ponari obat itu diberikan Tuhan kepada si sakit.
Khusus mengenai pengobatan Ponari, kita tidak boleh meyakini batu milik Ponari bisa menyembuhkan segala macam penyakit, juga tidak meyakini bahwa Ponari bisa menyembuhkan penyakit. Keyakinan seperti itu bisa merusak akidah. Yang kita harus yakini, adalah sumber penyembuhan itu adalah Allah, sedang media lain, berupa obat dokter, ramuan paranormal (dukun) hanyalah media atau perantara saja.
Selanjutnya, untuk membentengi masyarakat agar tidak lagi larut dalam kepercayaan yang mistis (takhayul), baik dalam hal pengobatan maupun lainnya, menjadi tugas para ulama, kaum cerdik cendikia dan semua pihak untuk memberikan pencerdasan.
Akhirnya, Semoga fenomena Ponari bukan sebuah potret penderitaan umat, Iya khan …? Semoga*
Catatan : Tulisan ini telah dimuat pada harian Malut Post, Ternate pada tanggal 19 Februari 2009
SHARE THIS POST