KEKERASAN TERHADAP ISTERI
( Saatnya Mendorong Inisiatif Lokal Menolak KDRT )
Oleh : Djabir Sasole
(Hakim pada Pengadilan Agama Ternate)
KEKERASAN, sebuah kosa kata yang sedang populer dan aktual dalam beberapa bulan belakangan ini. Ia telah memasuki wilayah politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun dunia pendidikan ; bahkan telah memasuki wilayah yang paling kecil dan eksklusif, wilayah yang justru dianggap sangat aman, yaitu keluarga. Suatu realita yang memang sulit diterima, terutama kaum perempuan. Dan ditengah kesibukan kaum ibu yang sedang siap-siap memperingati hari lahirnya RA Kartini - sang pejuang emansipasi wanita - justru budaya kekerasan terhadap kaumnya semakin menjadi fenomenal dan menjadi tontonan umum. Tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat lokal.
Perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan posisi yang layak ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Kaum perempuan masih menjadi obyek ekspoliotasi dan diskriminasi. Terbukti, angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun semakin menunjukkan grafik yang tinggi ; mulai dari kekerasan fisik, psikis, pelecehan seksual maupun penelantaran. Tidak sedikit yang mengalami catat seumur hidup, ada yang trauma berkepanjangan, bahkan ada yang harus berakhir dengan kehilangan nyawa.
Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, sepanjang tahun 2004, terdapat 5.934 kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Bahkan khusus DKI Jakarta di tahun 2006, menurut temuan Komnas Perempuan, ada 7.020 kasus kekerasan. Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau dimonitoring.
Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2004, 2.703 adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap isteri sebanyak 2.025 kasus (75 %). Selainnya adalah kekerasan terhadap anak perempuan, dan kekerasan terhadap keluarga lainnya.
Kita tentu bertanya, mengapa ini bisa terjadi ? apakah benar sinyelemen sebagian orang bahwa UU kita tidak melindungi kaum perempuan ? tulisan singkat ini akan mencoba melihat sejauh mana perundang-undangan kita mengayomi kaum isteri, dan bagaimana mendorong inisiatif komponen lokal untuk mengeliminir hal itu.
Variabel Faktor Penyebab
Dari sekian banyak kasus, ditemukan berbagai data variable sebagai faktor penyebab terjadinya kekerasan. Seperti penghasilan keluarga, pendidikan, pekerjaan, usia dan variabel lainnya. Dilihat dari status sosial, KDRT menjadi ciri khas dalam masyarakat kelas bawah. Hasil penelitian menunjukkan tingkat penganiayaan pada golongan bawah lebih tingga ketimbang golongan menengah keatas. Steinmentz melaporkan bahwa 22 persen dari keluarga berpenghasilan rendah dilaporkan melakukan penganiayaan dalam hubungan suami isteri.
Dari segi pendidikan, ditemukan data bahwa orang yang berpendidikan rendah lebih sering melakukan kekerasan dibanding yang memiliki pendidikan tinggi. Dilihat dari faktor pekerjaan, Wauchope dan Straus melaporkan, penganiayaan terhadap anak dan isteri oleh suami penganggur hampir dua kali lipat dibanding suami yang memiliki pekerjaan. Seorang ibu di Tangeran Banten yang tengah hamil, terpaksa harus melahirkan sebelum waktunya akibat disiksa oleh sang suami.
Variabel lain yang menarik adalah hubungan minuman keras, judi dan gemar perempuan dengan KDRT. Ditemukan data, suami yang suka mabuk, gemar berjudi dan perempuan sering memukul dan menganiaya isterinya. Tentu saja variable diatas adalah hanya merupakan perbandingan rata-rata dalam skala kuantitas, dan boleh jadi KDRT juga banyak dilakukan oleh mereka yang status sosial dan pekerjaan tergolong mapan dan pendidikan yang tinggi. Mungkin masih segar dalam ingatan kita, seorang Anggota Dewan di NTB, karena menuduh isterinya selingkuh dan untuk meyakinkan dirinya bahwa istrinya tidak selingkuh, ia menyuruh isterinya memotong jari tangannya sendiri, dan itu dilakukan oleh isterinya.
Kalau seluruh variable diatas disimpulkan, maka mungkin kalimat yang tepat untuk itu adalah rupanya lembaga perkawinan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang sakral dan sarat nilai. Dengan kata lain, ada kesenjangan jauh antara nilai duniawi dengan nilai transendental.
Dari berbagai data penelitian tersebut memberikan gambaran, betapa pelik serta kompleksnya masalah KDRT. Ada penafsiran, suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Dicontohkan, misalnya perlakuaan sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami isteri, meskipun hal tersebut tergolong KDRT, jika kedua belah pihak melakukannya dengan sadar dan tanpa paksaan, tidak dapat diajukan ke pihak berwajib. Selain itu. secara umum, masyarakat kita juga masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarga sebagai persoalan pribadi (domestic) yang tidak boleh diintervensi oleh pihak luar.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian masyarakat – termasuk perempuan yang menjadi korban – ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negative terhadap perempuan sebagai pihak yang – meminjam istilah seorang aktifis perempuan - memang “layak” dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.
Sebagai akibatnya, banyak kasus kekerasan, penelantaran, pelecehan yang menimpa perempuan (baca :isteri) tidak dilaporkan atau diproses secara hukum. Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 12, 2 % isteri yang mengalami KDRT menempu jalur hukum, sedangkan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,90 % memilih diam.
Ada berbagai kemungkinan sebab, mengapa kasus KDRT ini tidak banyak yang dilaporkan atau diproses secara hukum. Misalnya mungkin karena ketidaktahuan korban akan prosedur pelaporan kasus KDRT, atau mungkin karena kekurangpercayaan korban terhadap prosedur penyelesaian di pihak berwajib. Bahkan boleh jadi karena berbagai pertimbangan. Misalnya karena ada kehawatiran terhadap dampak dari laporan dan proses hukum tersebut, baik terhadap diri korban maupun anak-anaknya. Boleh jadi dari laporan itu akan melahirkan masalah baru yang justru lebih besar ; misalnya tidak ada jaminan akan keharmonisan perkawinannya pasca proses hukum, bahkan boleh jadi akan berakibat putusnya perkawinan. Hal yang lebih menghawatirkan lagi, bila ada anak-anak sementara tumpuan penghidupan ada pada sang ayah, maka pihak isteri akan kehilangan sumber ekonomi. Akibatnya sang isteri terpaksa harus menelan pil kekerasan, penganiayaan dan penelantaran, demi menghindari status janda dan status singel parent.
Payung Hukum
Mengapa kasus KDRT ini tidak dapat dieliminir ? padahal payung hukum untuk itu sudah boleh dianggap cukup ? Memang berbagai peraturan sebagai payung hukum pencegahan tindak kekerasan sudah cukup untuk dijadikan dasar. Misalnya, UU N0. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of all Form of Diskrimination Against Women), Kepres No. 181 tahun 1989 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian 2002 dan berbagai peraturan tentang HAM.
Mungkin persoalannya sekarang adalah sosialisasi dan optimalisasi pelaksanaan dari keseluruhan peraturan tersebut, terutama UU No. 23 tahun 2004 yang belum efektif. Tetapi harus diingat juga, bahwa sesungguhnya ada perlindungan terhadap hak-hak isteri dan anak, terutama apabila kekerasan dan penganiayaan mengakibatkan harus berakhir dengan perceraian. UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, PP 10 tahun 1983. misalnya : Jika perkawinannya dilaksanakan dibawah ancaman pemaksaan, maka isteri dapat meminta pembatalan terhadap pernikahannya itu. Apabila isteri dicerai oleh suami, maka selama isteri tidak tergolong isteri yang durhaka, ia berhak atas nafkah lampau (apabila sebelum dicerai tidak diberi biaya hidup), nafkah iddah (masa tunggu) dan mut’ah (pemberian dari bekas suami berupa hadiah). Tentang harta bersama, suami isteri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak, seorang isteri berhak atas separuh dari harta bersama apabila terjadi perceraian atau cerai mati. Tentang pemeliharaan dan pendidikan anak, anak yang dibawah 12 tahun dalam asuhan isteri, dan ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sampai anak dewasa atau dapat berdiri sendiri.
Jika isteri dan anaknya ditelantarkan dan tidak diberi biaya hidup oleh suami, maka ia berhak menuntutnya melalui Pengadilan, sekalipun tanpa perceraian. Apabila suami ingin berpoligami, maka selain harus melalui Pengadilan, juga harus mendapatkan ijin dari isteri. Jika suami berpoligami tanpa ijin Pengadilan, isteri dapat mencegahnya, dan jika tetap berpoligami, maka isteri dapat meminta agar Pengadilan membatalkan perkawinan tersebut. Jika suami adalah seorang PNS, maka apabila terjadi perceraian atas kehendak suami, isteri dapat memperoleh 1/3 gaji dan anak pun mendapat 1/3 dari gaji suami.
Ini adalah sebagian hak-hak isteri yang mungkin selama ini kurang tersosialisasikan. Dari beberapa hak tersebut, dapat dikatakan bahwa anggapan sebagian orang bahwa undang undang kita tidak melindungi hak-hak perempuan (isteri), tidak sepenuhnya banar. Tetapi harus diingat, bahwa hak-hak isteri tersebut baru dapat dilindungi oleh hukum apabila ikatan perkawinannya sah menurut hukum (tercatat dan dapat dibuktikan) dan isteri tidak berada pada nusyuz (durhaka).
Mendorong Inisiatif Lokal
Untuk tingkat lokal, sekalipun belum ada yang memberikan data resmi tentang kualitas dan kuantitas kasus KDRT, tetapi harus diakui, bahwa di tengah masyarakat sungguh banyak kasus KDRT yang karena berbagai sebab diatas, tidak sempat dideteksi atau dilaporkan ke pihak berwajib. Untuk mencegah berbagai tindak KDRT, perlu kerja keras dari berbagai komponen terkait.
Dalam otonomi daerah, penghapusan KDRT adalah tanggung jawab pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan (stake holders) lain, seperti organisasi kemasyarakatan, LSM perempuan, Institusi pendidikan serta induvidu anggota masyarakat. Dalam UU No. 23 tahun 2004, tanggung jawab tersebut diwujudkan dalam bentuk berbagai rumusan kebijakan, komunikasi, informasi, edukasi, sosialisasi dan advokasi tentang KDRT dengan mengoptimalkan semua komponen, misalnya ; pihak kepolisian, kesehatan, pekerja social, praktisi hukum dan pembimbing rohani. Pemerintah daerah sudah saatnya mengambil peran aktif dalam upaya menolak dan mencegah berbagai kasus KDRT.
Rasanya patut bagi kita menengok beberapa daerah yang sudah mengeluarkan berbagai kebijakan peraturan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di Sumatera Utara, Gubernur mengeluarkan Keputusan nomor 16 tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan, mendorong masyarakat untuk ikut mencegah, merehabilitasi dan menuntut secara hukum pelaku atas nama korban.
Provinsi Bengkulu di tahun 2005 pernah menyediakan dana Rp. 25 juta dalam APBD untuk mendukung pusat pelayanan krisis bagi perempuan Cahaya Perempuan yang mengelola layanan terpadu untuk perempuan korban kekerasan. Sekalipun nilainya kecil, tetapi dampak dari dukungan pemerintah daerah cukup memberikan dorongan bagi upaya pencegahan KDRT.
Di berbagai daerah, upaya ke arah penanganan korban kekerasan secara terpadu sudah banyak dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen. Sudah waktunya pihak pemerintah daerah melalui lembaga kesehatan seperti RS, baik RSUD, RS POLRI, TNI maupun pihak swasta untuk membuka Pelayanan Terpadu untuk melayani perempuan korban kekerasan. Di setiap Polres sudah harus dibuka jaringan informasi dan komunikasi yang mudah diakses, misalnya membuka pusat informasi pelayanan tindak KDRT dan Anak melalui telepon seluler yang disediakan khusus untuk itu, sehingga setiap masyarakat dengan mudah bisa melaporkan setiap kejadian, khususnya menyangkut KDRT.
Inisiatif dari masyarakat yaitu organisasi nonpemerintah, LSM perempuan yang memberi pendampingan korban kekerasan sepatutnya mendapat dukungan dari pemerintah daerah serta seluruh komponen. Patut dihargai dan didukung upaya LSM Daur Mala yang belakangan ini semakin menunjukkan aktifitasnya dalam memberikan apresiasi terhadap berbagai kasus KDRT dengan mendampingi para korban.
Bila semua komponen ini bisa bekerjasama, maka masyarakat, termasuk suami isteri akan semakin memahami hak dan kewajibannya, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai suami/isteri, dan pihak lelaki (suami) semakin tahu batasan tindakannya terhadap pasangannya. Dengan demikian, harapan dari masyarakat agar tindakan KDRT bisa dieliminir (dihapus) atau paling tidak bisa ditekan, diminimalisir. Semoga…#
Catatan : tulisan ini sudah dimuat di harian Malut Post, Ternate tanggal 20 April 2008
SHARE THIS POST