( Kewenangan baru Pengadilan Agama pasca lahirnya UU No.3 tahun 2006)
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
DAN PENGANGKATAN ANAK
Oleh : Djabir Sasole
(Hakim pada Pengadilan Agama Ternate)
Lahirnya UU No. 3 tahun 2006 sebagai hasil atas amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam sengketa bidang ekonomi syari’ah dan permohonan pengangkatan anak menurut hukum Islam. Tambahan wewenang lain adalah : sengketa infak dan zakat.
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang menurut penjelasan pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 meliputi : bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Pada pasal 1 UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan dinyatakan bahwa prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan islam antara bank dan nasabah atau pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lain yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain : pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewakan dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Bagaimana bentuk sengketa di bidang ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama ? Dari penjelasan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa sengketa di bidang ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah : pertama, sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya ; kedua, sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah ; ketiga, sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang orang yang beragama Islam yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Jadi sengketa ekonomi syari’ah adalah sengketa cidera janji/pelanggaran terhadap poin-poin yang telah diperjanjikan dalam akad, misalnya : kelalaian bank mengembalikan dana titipan nasabah (dalam akad wadi’ah), Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan (dalam akad mudharabah), nasabah melakukan usaha/kegiatan yang bertentangan dengan syari’ah dari dana pinjamannya pada bank syari’ah (dalam akad qardh) ; misalnya usaha prostitusi, menjual khamar dll.
Dari penjelasan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006, juga dapat dipahami bahwa seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah atau bank konvensional yang membuka unit usaha syari’ah (seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, dan lain-lain) dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Ini artinya, untuk daerah Maluku Utara, pengelola Bank Mumalat dan para nasabahnya boleh berlega hati karena jika terjadi sengketa antara pihak Bank Muamalat dengan nasabahnya akan diselesaikan oleh lembaga yang juga menggeluti syari’ah.
Memang sebelum lahirnya UU No.3 tahun 2006, penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah ditempuh dengan cara musyawarah dan jika tidak tercapai perdamaian, maka diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas). Hal ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005, tanggal 14 Nopember 2005 dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor : 17/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000. Akan tetapi setelah lahirnya UU ini, jika ada sengketa dalam ekonomi syari’ah, maka harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Data dari Direktorat Perbankan Syari’ah – Bank Indonesia, sepanjang tahun 2005 hingga akhir Juni 2006 sedikitnya terdapat 150 sengketa syari’ah dan cendrung bertambah.
PENGANGKATAN ANAK
Hal lain yang menarik dari UU ini adalah adanya tambahan wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili dan menyelesaikan permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelumnya permohonan pengangkatan anak ini menjadi kewenangan peradilan umum (Pengadilan Negeri) yang kita kenal dengan nama adopsi, sesuai dengan hukum terapan Staatsblad nomor 129 tahun 1917, namun dalam prakteknya membawa konsekwensi yuridis yang sangat bertentangan dengan hukum Islam.
Akibat hukum dari Staatsblad 129 tahun 1917 yang bertentangan dengan hukum Islam antara lain : pertama, anak yang diangkat (diadopsi) secara serta merta menjadi anak kandung orangtua angkatnya dan nama orangtuanya berganti dengan nama orangtua yang mengangkatnya ; kedua, hubungan nasab antara anak dengan orangtua asal secara otomatis menjadi terputus setelah diangkat oleh orangtua angkatnya; ketiga, terjadi saling mewarisi antara anak angkat dengan orangtua angkatnya sebagaimana hak mewarisi antara orangtua dengan anak kandungnya.
Menurut hukum Islam, maksud dari pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan anak tersebut, baik fisik, psykis maupun pendidikan dan moral anaknya agar anak tersebut tidak terlantar, sekaligus bisa membantu orangtua asal anak yang mungkin kekurangan dari segi pembiayaan untuk masa depan anak tersebut. Dalam hukum Islam, pengangkatan anak sama sekali tidak bermaksud memutuskan hubungan nasab dengan orangtua asalnya, tidak merubah ‘status’ anak atau mempersamakan hak dan kewajiban anak angkat sama dengan anak kandung orangtua angkat. Hubungan anak angkat dengan orangtua angkat seperti halnya hubungan anak asuh dengan orangtua asuhnya. Inilah perbedaan mendasar pengangkatan anak yang dahulu menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan yang kini menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Selanjutnya, oleh karena UU ini mengatur kewenangan absolute Pengadilan Agama. juga karena UU ini adalah hukum public yang bersifat memaksa (dwingend recht) maka pasal-pasalnya pun bersifat memaksa pula, yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara Indonesia, termasuk lembaga negara republik ini. Oleh karena itu pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syari’ah (ekonomi syari’ah) dan orang Islam yang berkehendak mengadakan permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, dapat memanfaatkan pelayanan hukum pada pengadilan Agama sebagai lembaga yang berhak secara absolut untuk memeriksanya.