Penangan Kasus KDRT
PENANGANAN KASUS KDRT
DI PENGADILAN AGAMA
OLEH : Drs. Djabir Sasole, MH
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) makin meningkat. Berulang kali media massa memberitakan tentang seorang suami yang menyiksa bahkan membunuh isterinya, ayah memperkosa anak dll. Sekalipun umumnya kekerasan dilakukan oleh suami terhadap isteri, tetapi terdapat juga sebaliknya kekerasan isteri terhadap suami. Kejadian seperti ini biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai faktor ; mulai dari rasa cemburu, tekanan hidup, akibat minuman keras dll. Ada juga kekerasan orangtua terhadap anak atau sebaliknya anak terhadap orangtua.
Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sepanjang tahun 2004, terdapat 5.934 kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Bahkan khusus DKI Jakarta di tahun 2006, menurut temuan Komnas Perempuan, ada 7.020 kasus kekerasan. Angka ini baru merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau dimonitoring.
Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2004, 2.703 adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap isteri sebanyak 2.025 kasus (75 %). Selainnya adalah kekerasan terhadap anak perempuan, dan kekerasan terhadap keluarga lainnya.
Sekedar ilustrasi untuk kita, sekitar 2 tahun silam, di NTB, seorang anggota dewan karena mencurigai isterinya telah selingkuh, maka untuk meyakinkan dirinya bahwa isterinya tidak selingkuh, anggota dewan tersebut meminta isterinya untuk memotong jari syahadatnya, dan sang isteri pun karena merasa dirinya tidak selingkuh, ia pun memotong jari tangannya.
Untuk tingkat lokal Maluku Utara atau Kota Tidore Kepulauan, sekalipun belum ada data resmi dari LSM atau kepolisian, namun kita yakin bahwa KDRT juga banyak terjadi, baik yang sempat dilaporkan ke pihak yang berwajib maupun yang tidak sempat dilaporkan. Dan dari berbagai kasus KDRT ini, tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian.
TUGAS DAN KEWENANGAN PA
Sesuai pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang - orang yang beragama Islam di bidang :
- Perkawinan ; yang meliputi :
- Ijin beristeri lebih dari seorang (poligami)
- Ijin melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun (dalam hal orangtua, wali atau keluarga berbeda pendapat)
- Dispensasi kawin ( untuk mereka yang akan menikah tetapi belum mencapai usia minimal ; 19 untuk laki-laki, 16 untuk perempuan)
- Pencegahan perkawinan
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
- Pembatalan perkawinan
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri
- Perceraian Karena Talak (cerai yang diajukan oleh suami)
- Gugatan Perceraian (cerai yang diajukan oleh isteri)
- Gugatan harta bersama (suami isteri)
- Gugatan tentang penguasaan anak
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya
- Gugatan tentang penentuan kewajiban memberi biaya hidup oleh bekas suami atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
- Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orangtua
- Pencabutan kekuasaan wali
- Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan (dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut)
- Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orangtuanya ;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda yang ada di bawah kekuasaannya
- Penetapan asal usul seorang anak
- Penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
- Pengesahan nikah (Itsbat nikah)
- Waris ; meliputi :
- Penentuan siapa yang menjadi ahli waris
- Penentuan mengenai harta peninggalan
- Penentuan bagian masing-masing ahli waris
- Pelaksanaan pembagian harta peninggalan
- Wasiat
- Hibah
- Wakaf
- Zakat
- Infaq
- Shadaqah
- Ekonomi Syari’ah ; meliputi :
- Bank syari’ah
- Lembaga keuangan mikro syari’ah
- Asuransi syari’ah
- Reasuransi syari’ah
- Reksadana syari’ah
- Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka syari’ah
- Sekuritas syari’ah
- Pembiayaan syari’ah
- Pegadaian syari’ah
- Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
- Bisnis syari’ah
PENYELESAIAN KASUS KDRT PADA PA
Seperti yang telah disinggung diatas, oleh karena Pengadilan Agama adalah Pengadilan yang khusus menangani perkara tertentu di antara orang-orang yang beragama Islam atau lembaga yang berdasarkan prinsip syari’ah, maka sepanjang menyangkut kasus KDRT, ia hanya merupakan penyebab atau alasan dari sekian banyak alasan perceraian. Dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 19 PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan alasan-alasan yang menjadi dasar seseorang itu bisa mengajukan perceraian di Pengadilan (baca : Pengadilan Agama).
- salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
- salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya ;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung :
- salah satu pihak melakukan kekejaman, penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain :
- salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sabagai suami/ isteri;
- antara suami dan isteri terus- menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
- suami melanggar taklik talak (janji yang diucapkan suami setelah akad nikah)
- murtad (keluar dari agama Islam) yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. (No 7 dan 8 adalah tambahan dalam KHI).
Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa dalam kasus KDRT masuk dalam kategori pada point 4. Dalam proses penyelesaian kasus perceraian di Pengadilan Agama Soasio dengan alasan KDRT, umumnya pihak isteri tidak mau mengungkapkan alasan KDRT sebagai alasan perceraian, karena berbagai sebab. Misalnya, isteri tidak mau memperpanjang persoalan dengan mengungkap kejadian-kejadian KDRT, atau karena isteri tidak memiliki bukti saksi yang kuat untuk membuktikannya di persidangan. Ada juga yang tidak mau karena alasan menjaga kondisi psikis anak-anak. Sehingga yang biasa dijadikan alasan adalah point 6 (antara suami isteri terus menerus terjadi percekcokan dan pertengkaran yang sudah sulit diharap untuk bisa bersatu kembali) atau pelanggaran taklik talak point 7 berupa penelantaran tanpa biaya hidup.
Dalam hal perceraian karena alasan KDRT, umumnya yang menjadi faktor penyebab adalah mabuk akibat minuman keras, faktor ekonomi, faktor cemburu/perselingkuhan, faktor usia yang belum mapan, faktor intervensi pihak ketiga (keluarga) dll. Dari beberapa perkara perceraian karena alasan KDRT yang diperiksa PA, terungkap bahwa hampir semuanya terjadi karena berawal dari perkawinan yang tidak sehat.
Pengadilan Agama dalam menangani kasus seperti ini terkadang mengalami kesulitan dalam hal upaya mendamaikan kedua belah pihak, karena persoalannya cukup kompleks ; sehingga yang menjadi dasar bagi Pengadilan agama adalah : apakah rumah tangga mereka masih bisa dipertahankan atau tidak ? dengan tanpa melihat siapa yang menjadi penyebab. Alasan Pengadilan adalah jika memaksakan hidup bersama dalam kendisi seperti itu lebih berbahaya dari pada menfaatnya, maka jalan terbaik bagi keduanya adalah perceraian.
Dari berbagai data penelitian memberikan gambaran, betapa pelik serta kompleksnya masalah KDRT. Ada penafsiran, suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Dicontohkan, misalnya perlakuan sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami isteri, meskipun hal tersebut tergolong KDRT, jika kedua belah pihak melakukannya dengan sadar dan tanpa paksaan, tidak dapat diajukan ke pihak berwajib. Selain itu. secara umum, masyarakat kita juga masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarga sebagai persoalan pribadi (domestic) yang tidak boleh diintervensi oleh pihak luar.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian masyarakat – termasuk perempuan yang menjadi korban – ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah masyarakat yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negative terhadap perempuan sebagai pihak yang – meminjam istilah seorang aktifis perempuan - memang “layak” dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.
Sebagai akibatnya, banyak kasus kekerasan, penelantaran, pelecehan yang menimpa perempuan (baca :isteri) tidak dilaporkan atau diproses secara hukum. Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 12, 2 % isteri yang mengalami KDRT menempu jalur hukum, sedangkan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,90 % memilih diam.
Ada berbagai kemungkinan sebab, mengapa kasus KDRT ini tidak banyak yang dilaporkan atau diproses secara hukum. Misalnya mungkin karena ketidaktahuan korban akan prosedur pelaporan kasus KDRT, atau mungkin karena kekurangpercayaan korban terhadap prosedur penyelesaian di pihak berwajib. Bahkan boleh jadi karena berbagai pertimbangan. Misalnya karena ada kehawatiran terhadap dampak dari laporan dan proses hukum tersebut, baik terhadap diri korban maupun anak-anaknya. Boleh jadi dari laporan itu akan melahirkan masalah baru yang justru lebih besar ; misalnya tidak ada jaminan akan keharmonisan perkawinannya pasca proses hukum, bahkan boleh jadi akan berakibat putusnya perkawinan. Hal yang lebih menghawatirkan lagi, bila ada anak-anak, sementara tumpuan penghidupan ada pada sang ayah, maka pihak isteri akan kehilangan sumber ekonomi. Akibatnya sang isteri terpaksa harus menelan pil kekerasan, penganiayaan dan penelantaran, demi menghindari status janda dan singel parent.
PAYUNG HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
Mengapa kasus KDRT ini tidak dapat dieliminir ? padahal payung hukum untuk itu sudah boleh dianggap cukup ? Memang berbagai peraturan sebagai payung hukum pencegahan tindak kekerasan sudah cukup untuk dijadikan dasar. Misalnya, UU N0. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of all Form of Diskrimination Against Women), Kepres No. 181 tahun 1989 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian 2002 dan berbagai peraturan tentang HAM.
Mungkin persoalannya sekarang adalah sosialisasi dan optimalisasi pelaksanaan dari keseluruhan peraturan tersebut, terutama UU No. 23 tahun 2004 yang belum efektif. Tetapi harus diingat juga, bahwa sesungguhnya ada perlindungan terhadap hak-hak isteri dan anak-anak, terutama apabila kekerasan dan penganiayaan itu mengakibatkan harus berakhir dengan perceraian. UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, PP 10 tahun 1983. misalnya : Jika perkawinannya dilaksanakan dibawah ancaman pemaksaan, maka isteri dapat meminta pembatalan terhadap pernikahannya itu. Apabila isteri dicerai oleh suami, maka selama isteri tidak tergolong isteri yang durhaka, ia berhak atas nafkah lampau (apabila sebelum dicerai tidak diberi biaya hidup), nafkah iddah (masa tunggu) dan mut’ah (pemberian dari bekas suami berupa hadiah). Tentang harta bersama, suami isteri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak, seorang isteri berhak atas separuh dari harta bersama apabila terjadi perceraian atau cerai mati. Tentang pemeliharaan dan pendidikan anak, anak yang dibawah 12 tahun dalam asuhan isteri, dan ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak sampai anak dewasa atau dapat berdiri sendiri.
Jika isteri dan anaknya ditelantarkan dan tidak diberi biaya hidup oleh suami, maka ia berhak menuntutnya melalui Pengadilan, sekalipun tanpa perceraian. Apabila suami ingin berpoligami, maka selain harus mendapatkan ijin Pengadilan, juga harus mendapatkan persetujuan dari isteri. Jika suami berpoligami tanpa ijin Pengadilan, isteri dapat mencegahnya, dan jika tetap berpoligami, maka isteri dapat meminta agar Pengadilan membatalkan perkawinan tersebut. Jika suami adalah seorang PNS, maka apabila terjadi perceraian atas kehendak suami, isteri dapat memperoleh 1/3 gaji dan anak pun mendapat 1/3 dari gaji suami.
Ini adalah sebagian hak-hak isteri yang mungkin selama ini kurang tersosialisasikan. Dari beberapa hak tersebut, dapat dikatakan bahwa anggapan sebagian orang bahwa undang undang kita tidak melindungi hak-hak perempuan (isteri), tidak sepenuhnya banar. Tetapi harus diingat, bahwa hak-hak isteri tersebut baru dapat dilindungi oleh hukum apabila ikatan perkawinannya sah menurut hukum (tercatat dan dapat dibuktikan) dan isteri tidak berada pada kondisi nusyuz (durhaka).
PENUTUP/ SARAN
Dalam otonomi daerah, penghapusan KDRT adalah tanggung jawab pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan (stake holders) lain, seperti organisasi kemasyarakatan, LSM perempuan, Institusi pendidikan serta individu anggota masyarakat. Dalam UU No. 23 tahun 2004, tanggung jawab tersebut diwujudkan dalam bentuk berbagai rumusan kebijakan, komunikasi, informasi, edukasi, sosialisasi dan advokasi tentang KDRT dengan mengoptimalkan semua komponen, misalnya ; pihak kepolisian, kesehatan, pekerja social, praktisi hukum dan pembimbing rohani. Pemerintah daerah sudah saatnya mengambil peran aktif dalam upaya menolak dan mencegah berbagai kasus KDRT.
Rasanya patut bagi kita menengok beberapa daerah yang sudah mengeluarkan berbagai kebijakan peraturan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di Sumatera Utara, Gubernur mengeluarkan Keputusan nomor 16 tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan, mendorong masyarakat untuk ikut mencegah, merehabilitasi dan menuntut secara hukum pelaku atas nama korban.
Provinsi Bengkulu di tahun 2005 pernah menyediakan dana Rp. 25 juta dalam APBD untuk mendukung pusat pelayanan krisis bagi perempuan Cahaya Perempuan yang mengelola layanan terpadu untuk perempuan korban kekerasan. Sekalipun nilainya kecil, tetapi dampak dari dukungan pemerintah daerah cukup memberikan dorongan bagi upaya pencegahan KDRT.
Di berbagai daerah, upaya ke arah penanganan korban kekerasan secara terpadu sudah banyak dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen. Sudah waktunya pihak pemerintah daerah melalui lembaga kesehatan seperti RS, baik RSUD, maupun pihak swasta untuk membuka Pelayanan Terpadu untuk melayani perempuan korban kekerasan. Di setiap Polres sudah harus dibuka jaringan informasi dan komunikasi yang mudah diakses, misalnya membuka pusat informasi pelayanan tindak KDRT dan Anak melalui telepon seluler yang disediakan khusus untuk itu, sehingga setiap masyarakat dengan mudah bisa melaporkan setiap kejadian, khususnya menyangkut KDRT.
Demikian sekedar sumbang saran pemikiran untuk kemajuan kaum perempuan di masa mendatang, semoga ada manfaatnya.#
DAFTAR BACAAN
- Prof. Drs. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996 ;
- Prof. Dr. Abdul Gani, SH, dkk, 10 tahun Undang Undang Peradilan Agama (laporan seminar), Chasindo, Jakarta, 1999 ;
- Prof. Dr. Abdul Gani, SH, Himpunan Undang Undang dan Peraturan Peradilan Agama, PT. Intermasa, Jakarta, 1991 ;
- Prof. Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Fajar Interpratama Ofset, Cet. I, Jakarta, 2004 ;
- Dra. Hj. Khaeriyah, SH dan Drs. Djabir Sasole, Harian Umum Maluku Utara Post, dalam rubric OPINI, hal. 8, tanggal 21, 23 dan 24 April 2007;
- Harian Umum Kompas, dalam rubric Swara, hal. 41, tanggal 9 Juli 2005